
Sunat pada bayi perempuan masih menjadi kontroversi di kalangan orang tua. Sebagian orang menganggap tindakan tersebut sebagai tuntutan budaya dan agama, sementara sebagian lain menganggapnya tidak manusiawi. Bagaimana tindakan tersebut secara medis?
Sunat, juga dikenal sebagai sirkumsisi dalam bahasa medis, adalah proses membuang kulit penutup bagian depan kelamin sebagian atau seluruhnya. Pada anak laki-laki, prosedur ini dilakukan dengan membuang kulit penutup depan dari prepusium, atau glans penis. Sunat pada anak laki-laki dilakukan untuk mengurangi risiko infeksi saluran kemih, infeksi pada penis, dan penyakit menular seksual pada usia dewasa dengan membersihkan tumpukan lemak di lipatan kulit prepusium (dikenal sebagai smegma). Sunat biasanya dilakukan pada anak laki-laki, tetapi ada juga kelompok masyarakat yang melakukannya pada bayi perempuan. Tidak ada anjuran medis yang umum untuk melakukan sunat pada bayi perempuan. Sunat bayi perempuan biasanya dilakukan dengan memotong atau melukai bagian kecil kulit penutup klitoris, juga dikenal sebagai prepusium. Secara anatomis, tidak semua anak perempuan memiliki prepusium yang menutupi klitoris dan saluran kemih, sehingga tidak semua anak perempuan perlu disunat.
Pada tahun 2010, Peraturan Menteri Kesehatan No. 1636/Menkes/PER/XI/2010 dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan Indonesia mengenai sunat perempuan. Permenkes tersebut mengatur prosedur medis untuk melakukan sunat perempuan. Namun begitu, pada tahun 2014, Kementerian Kesehatan mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 6 Tahun 2014 untuk mencabut dan menyebabkan tidak berlakunya lagi Permenkes No. 1636/Menkes/PER/XI/2010 karena perkembangan ilmu kedokteran. Permenkes menyatakan bahwa "sunat perempuan hingga saat ini tidak merupakan tindakan kedokteran karena pelaksanaannya tidak berdasarkan indikasi medis dan belum terbukti bermanfaat bagi kesehatan."
Di beberapa negara di seluruh dunia, sunat pada bayi perempuan dikenal sebagai mutilasi genitalia perempuan (FMG). Badan Kesehatan Dunia (WHO) mengklasifikasikan FMG sebagai berikut: melukai, menusuk, atau menggores klitoris atau prepusium; membuang sebagian atau seluruh klitoris; atau memotong seluruh klitoris dan labia minor dan mayor dan menyisakan saluran kemih tanpa alasan medis. Fokus utama tindakan FMG adalah di Afrika, di mana mereka dilakukan sebagai bentuk kepatuhan terhadap budaya lokal.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Persatuan Dokter Obstetri dan Ginekologi Dunia (International Federation of Gynecology and Obstetrics) menolak seluruh jenis FMG, menggambarkannya sebagai "praktik medis yang tidak diperlukan, yang memiliki risiko komplikasi serius dan mengancam nyawa." Selain itu, seluruh anggota Persatuan Dokter Anak Amerika (American Academy of Pediatrics—AAP) dilarang melakukan tindakan ini karena alasan di luar medis. Karena banyaknya pembuluh darah di area kemaluan wanita, FMG dianggap mengancam nyawa. Kebanyakan prosedur FMG dilakukan secara ilegal, meningkatkan risiko infeksi karena prosedur medis tidak steril. Selain itu, perempuan yang mengalami fistula mammaria (FMG) juga akan merasa tidak nyaman saat melakukan hubungan seksual, yang dapat menyebabkan komplikasi jangka panjang. Persatuan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) tidak menganjurkan sunat perempuan yang mencakup pemotongan klitoris. Hal ini hanya dapat dilakukan dalam kasus tertentu, seperti ketika selaput di klitoris terbuka.
Tidak ada penelitian medis yang mendukung sunat rutin pada perempuan. Banyak organisasi kesehatan di seluruh dunia tidak melakukan prosedur ini secara teratur karena risiko perdarahan yang tinggi dan kerusakan pada daerah genital perempuan. Orang tua bayi perempuan harus selalu berkonsultasi dengan dokter anak sebelum melakukan sunat.