Definisi
Mekanisme plastisitas
Plastisitas: faktor usia
Plastisitas: masa pulih (recovery)
Plastisitas: double hazard
Istilah plastisitas berasal dari bahasa Yunani ‘plaistikos’ yang berarti ‘membentuk, ‘to form’. Secara umum plastisitas otak diartikan sebagai kemampuan otak untuk melakukan re-organisasi setelah mengalami cedera (injury) atau karena penyakit. Kata lain plastisitas otak (brain plasticity) adalah neuroplasticity atau brain malleability.
Plastisitas merupakan salah satu
kemampuan otak yang sangat penting, yang melingkupi berbagai kapabilitas
otak, termasuk kemampuan untuk beradapatasi terhadap perubahan
lingkungan dan penyimpanan memori dalam proses belajar. Karena itu
anak-anak bisa belajar lebih cepat daripada dewasa, termasuk
diantaranya menguasai bahasa asing di usia muda, penguasaan alat musik,
bermain bola, bahkan pemulihan dari cedera otak yang lebih cepat.
Pada masa fetal terdapat keseimbangan
antara neurogenesis dan apoptosis sel neuron untuk mendapatkan jumlah
neuron tertentu pada setiap regio otak, proses ini terutama diamati
pada trimester kedua kehamilan. Berbagai penelitian pada hewan
menunjukkan bahwa terdapat produksi neuron yang sangat berlebihan pada
masa fetus dibandingkan dengan jumlah akhir yang ditemukan pada otak
yang matur. Over-produksi neuron ini diduga menjadi semacam reservoir
yang dapat digunakan jika terjadi cedera (injury) otak.
Penelitian terbaru menunjukkan bahwa neurogenesis ternyata masih terjadi
setelah masa fetal bahkan hingga dewasa pada area tertentu di otak,
termasuk zona subventrikular dari ventrikel lateral dan zona subgranular
dari girus dentate hipokampus.
Plastisitas otak melingkupi perubahan
pola fungsional dan struktural sebagai respons terhadap lingkungan,
secara fisiolofis atau patologis, melalui beberapa mekanisme yang
berbeda. Perubahan terjadi pada tingkat kortikal berupa pola sinaptik
dan representasi. Hipotesis lain menyebutkan dapat pula terjadi
perubahan pada tingkat neuronal baik berupa perubahan morfologi ataupun
fungsional.4
Saat seorang anak lahir, ia memiliki
jumlah neuron lebih dari 100 milyar, suatu jumlah sel neuron maksimal
sepanjang hidupnya, sementara berat otak bayi saat lahir tidak lebih
dari seperempat berat otak orang dewasa. Peningkatan massa otak dalam
perkembangan seorang anak merefleksikan peningkatan yang spektakuler
dari koneksi kortiko-kortical yang bersifat experience-dependent. Plastisitas experience-dependent
merujuk pada mekanisme belajar dan penyimpanan memori sebagai hasil
interaksi seorang individu dengan lingkungannya, kemudian membentuk
jaringan neuronal tertentu yang mewakili memori autobiografikal.
Plastisitas merupakan hasil dari kapasitas intrinsik otak untuk
mengenali efek suatu pengalaman terhadap kebutuhan dasarnya sebagai
makhluk hidup, untuk memulai proses belajar dan menyimpan memori. Proses
ini akan bermuara pada pembentukan jutaan jaringan neuronal (mnemonic) pada neokorteks, yang merepresentasikan isi memori autobiografik.
Secara umum, cedera daerah kortikal yang
bersifat fokal pada masa kanak-kanak mempunyai morbiditas yang lebih
rendah dibandingkan cedera pada usia dewasa. Namun demikian, pendapat
bahwa cedera otak yang terjadi pada usia lebih dini akan mempunyai
prognosis yang lebih baik ternyata tidaklah sepenuhnya benar. Berbagai
penelitian menunjukkan bahwa cedera otak pada usia tertentu,
prognosisnya tergantung pada titik dampak kritisnya (critical impact points hypothesis).
Berdasarkan paradigma ini, ternyata cedera otak pada usia dini dapat
sama fatalnya dengan cedera otak pada usia yang lebih tua.
Jika cedera terjadi pada suatu usia
dimana sel-sel otak masih dalam tahap pematangan, dan tepat pada titik
dimana perkembangan neurologi dan kognitif memerlukan dukungan
lingkungan yang optimal dan kondusif, maka prognosis yang buruk bisa
diramalkan pada kasus ini. Penelitian longitudinal terhadap kelainan di
kortek serebri dengan kelainan kongenital menyimpulkan prognosis yang
lebih uruk jika dibandingkan dengan kelainan serupa yang didapat
kemudian. Perbedaan ini menunjukkan bahwa anak dengan kelainan
kongenital justru mengalami gangguan perkembangan otak pada keseluruhan
hemisfer.
Selaras dengan critical impact points hypothesis,
Kolb dan Gibbs (2001) menemukan bahwa kerusakan otak yang terjadi pada
usia dini, walaupun proliferasi neural telah sempurna namun masih dalam
proses migrasi dan diferensiasi, akan mengakibatkan atrofi menyeluruh
dendritik dan penurunan densitas neuron terutama bagian selubung kortek
pada area tulang belakang, yang tampak sebagai retardasi mental.
Sebaliknya, jika selubung kortek ini rusak pada waktu pertumbuhan cepat
dendritik dan pembentukan formasi sinaps, justru akan terjadi
peningkatan percabangan dendritik dan densitas spinal melalui kortek
yang masih tersisa, sehingga akan didapatkan hasil akhir berupa
pemulihan (recovery) fungsi yang lebih baik. Dengan demikian
disimpulkan bahwa cedera otak yang terjadi lebih awal tidak selalu
mempunyai prognosis yang lebih baik, hasil akhir (outcome)nya
ditentukan oleh tingkat maturasi yang sudah atau sedang berlangsung saat
cedera terjadi, yang dipengaruhi oleh kemampuan selular yang spesifik
sehubungan dengan plastisitas otak.
St. James-Roberts (1981) berdasarkan
data studi hemisferektomi menyimpulkan bahwa perbedaan masa pulih
(recovery) sesudah cedera/trauma pada sistem nervus matur vs imatur,
bukan hanya berkaitan dengan usia saat cedera/trauma terjadi,namun juga
merefleksikan lamanya masa pulih yang dihubungkan dengan penyebab lesi
dan jenis pemeriksaan atau tes yang dilakukan. Studi kohort pada usia
dewasa akan mempunyai masa follow up yang singkat sehubungan
dengan keterbatasan usia harapan hidup. Demikian juga halnya pada studi
yang melibatkan subjek dengan tumor otak, tentu akan mempengaruhi
potensial masa pulih penderitanya.
Menurunnya plastisitas otak seiring
dengan bertambahnya usia tidak berarti re-organisasi tidak mungkin
terjadi pada waktu yang panjang. Sebagai contoh, pada sindrom
Sturge-Weber, terjadi kalsifikasi yang progresif walaupun pada saat
bersamaan re-organisasi kemampuan bahasa yang terus berlanjut hingga
usia lebih tua.
Masa pulih pada cedera hemisfer kiri
dimana hemisfer kanan secara perlahan mengambil alih aspek bahasa dan
memori verbal juga bisa memakan waktu yang cukup panjang. Akuisisi
bahasa pada anak yang belum terpapar (exposed) bahasa sama
sekali, atau belum bicara hingga akhir dekade pertama juga akan
memperpanjang masa re-organisasi yang dibutuhkan. Dalam berbagai kasus,
masa transfer kemampuan bahasa dari hemisfer kanan ke kiri memerlukan
waktu yang relatif lebih panjang dibandingkan dengan durasi plastisitas
serebral pada umumnya.
Studi prospektif longitudinal oleh Anderson V et al terhadap 122 anak dengan cedera kepala (trauma brain injury, TBI) mendokumentasikan hubungan derajat cedera (injury severity)
dengan kemampuan kognitif. Anak yang menderita cedera kepala berat pada
usia muda akan mengalami pemulihan yang minimal atau bahkan tidak sama
sekali dibandingkan jika cedera yang sama terjadi pada usia yang lebih
tua. Usia saat terjadi cedera tidak dapat dijadikan faktor prediksi
terhadap prognosis atau outcome nantinya pada cedera kepala ringan sampai sedang, meskipun anak usia 0-2,11 tahun dengan cedera kepala sedang mempunyai outcome
yang lebih buruk dibandingkan tingkat cedera yang sama pada usia yang
lebih tua. Penelitian ini menyimpulkan suatu model ‘double hazard’ pada
cedera otak yang berat dan terjadi pada usia dini, walaupun terdapat
kemampuan plastisitas otak, namun pada keadaan ini justru anak tersebut
menjadi lebih rentan terhadap gangguan/kerusakan kognitif residual yang
signifikan.
Comments
Post a Comment